Suatu Malam di Negeri Atas Angin…
Oleh : e-hartantyo
Malam telah larut, sedang aku masih termangu menyongsong cahaya malam. Kadang dunia malam tak ubahnya seperti rimbun gemerisik air hujan yang membasahi tanah kering, kadang juga berupa genangan lumpur yang menempel di dinding-dinding kesakitan. Tapi memang, malam telah larut. Aku sedang berusaha berpikir. Mengapa sang isi merintih kepadaku? Aku tidak peduli. Aku seakan muak. Aku seharusnya sudah pergi dari sini. Tetapi sesuatu memasung hidupku. Kakiku terjuntai terikat sulur-sulur hidup yang seakan terus menumbuhi jiwaku. Sang isi kembali merintih kepadaku. Tetapi aku memang muak.
Seonggok kata tanpa makna yang ada di sisi secangkir kopi berusaha menyapaku. Tetapi, yah.. malam memang telah larut. Kursi-kursi yang aku duduki seakan berusaha merebutku dari hangatnya kopi yang tinggal setengah. Ingat, aku masih termangu. Cahaya malam mulai menyeruakku di dalam kesalahan yang pernah dibuat malam kepadaku. Dia akan minta maaf karena dialah sebab dari segala ketidaknormalan ini.
Aku menutup cangkir dengan seratuslimapuluh halaman tebal Gramsci. Masih kuintip mulut cangkir. Dia bergerak-gerak menahan himpitan beratnya pengalaman lembar-demi lembar kertas berhalaman. Dia akan berontak, tetapi hangatnya telah terbias oleh dinginnya sang hawa saat itu. Mejapun tidak mau ketinggalan. Dia tetap menyeruak ingin memimpikan merengkuh cangkir, menumpahkan isinya dan menyesatkan semut-semut yang akan mengerumuninya. Tetapi apa kenyetaannya? Aku perhatikan dia, tangan cangkr menggapai-gaai apa pun yang bisa diraihnya. Tetapi, tidak satupun yang dapat membuatnya bergeming dari himpitan sitebal.
Aku baru sadar ketika aku belalakkan mata, sulur-sulur ternyata semakin membelitku. Dia beranak pinak dan bertunas-tunas memegang kendali hidup. Dia muncul dari bawah kursi, menyingkirkan laba-laba kecil yang berumah padanya. Tarian indahnya sungguh membius tetapi mematikan. Ingatlah wahai isi, malam rupanya telah larut. Satu kali denting jam menambah kesunyian. Meja kayu menggeliat, usahanya menumpahkan isi cangkir rupanya sia-sia. Pertolongan si tebal telah menjaga kehormatan cangkir. Dia tetap terdiam. Himpitan berhalaman-halaman buku ternyata menyelamatkan hidupnya. Kenyataan hidup sungguh pahit, kadang sesuatu yang menimpa kita akan berguna buat kita, apapun itu.
Sekian lama ternyata bukutebal semakin beranak pinak, membentuk suatu tumpukan mahaberat yang harus disandang cangkir. Meja rupanya tidak ikut-ikutan memboboti cangkir, tetapi dia menggoyangkan badannya untuk menyempitkan penderitaan cangkir. Aku termangu, sementara sulur-sulur sudah sampai di atas mata kanan. Dia berusaha menutup mataku. Agar tidak ada lagi yang dapat aku lihat dan saksikan. Onggokan kata di dekat cangkir rupanya ikut-ikutan sitebal. Dia mengenggam tangan cangkir dengan lobang-lobang yang banyak menjuntai dari atasnya.
Tetapi ingatlah kembali wahai sang isi, malam telah larut. Suara malam mendinginkan gemerisik hujan, tetes-tetes air menimpa onggokan kata. Hampir-hampir leleran kuning pena kehitaman menyentuh bibir meja yang berusaha menghindar. Dunia memang kompleks sayang. Harmonik tetapi tidak teratur. Lagipula dunia adalah kecil, tapi juga besar. Leleran tinta pena kuning masih merayap bak semut beracun ke arah meja. Meja berusaha menggoyangkan badannya kembali. Tapi tidak untuk si cangkir. Dia ingin menyelamatkan dirinya dari cakar maut tinta kuning. Tetapi, kelokan kertas telah terbentuk … dan kata bersekongkol dengan tinta kuning akan mengotori meja.
Ternyata kaki meja pun sudah bersekongkol akan membungkam mukanya. Rasa iri dan dengki telah menyelimuti-nya. Dia merasa tertidakadilkan oleh situasi. Aku sering melap muka meja supaya terlihat bersinar, tetapi aku jarang bahkan tidak pernah mengusap kaki meja. Dia berbisik kepada kursi, inang sulur yang membelitku. Persekongkolan sudah tidak dapat dihindari dan diidentifikasi. Saat itu muka meja memohon kepada sang isi, tetapi rupanya ketidak adilan telah menutup telinga sang isi. Tangisan meja berderak-derak. Aku tetap terdiam, bukan karena tidak mampu bergerak.., tetapi memang tidak bisa bergerak. Aku kecewa kepada sang isi, tetapi mereka juga kecewa kepadaku.
Mata kananku berhasil ditutup oleh sulur jahat. Aku melirik dengan mata kiriku ke arah dinding, lantai dan langit-langit. Merekalah yang menciptakan isi. Tanpa mereka sang isi tidak ada artinya. Merekalah batas yang membedakan kelompok sang isi. Aku terharu. Mereka hanya menonton persekongkolan sang isi. Mereka tidak bisa bertindak. Tapi aku tahu sebenarnya mereka mampu. Mereka masih punya hatinurani. Mereka hanya berdoa. Memohon sang surya mengusir malam larut. Saat ini aku setuju dengan pendapat mereka. Malam yang larut memang penyebab ketidak normalan ini. Tapi aku tidak setuju akan ke’diam’an mereka. Aku ingin mereka melebur sang isi dengan kekuatan dindingnya. Meremukkan apa yang ada di dalamya. Menggumpal menjadi sebuah bola pepat.
Malam telah larut. Aku tahu, ternyata sang dinding masih mengharapkan aku, sang lantai masih mau memelukku, dan sang atap masih mau menahanku. Mereka sangat sayang dan cinta kepadaku. Itu sebabnya mereka mau menjagaku, dan tidak mau menggenggamku. Aku juga tahu, sesungguhnya mereka muak dengan sang isi. Tetapi rasa sayang mereka kepadaku jauh lebih besar dari kebencian mereka kepada sang isi. Sekali lagi, malam masih larut.
Aku masih butuh lima-enam denting jam untuk menyambut sang surya. Wahai sang surya, datanglah. Usirlah sang malam yang menjadi sebab ketidak normalan ini. Hanya engkau yang mampu. Berilah petunjuk sang isi dengan kehangatanmu, yang selalu kau salurkan lewat dinding, atap dan lantai. Mereka mengagungkanmu. Mereka sayang kepadaku. Dan mereka sangat membutuhkan hangatmu.
Tetapi ingatlah wahai sahabatku, lima-enam denting jam masih lama. Sulur telah membelit hingga mata kiriku. Aku tak bisa melihat sekarang. Masih lima-enam denting jam lagi wahai sahabatku. Sekarang masih larut. Lima-enam denting jam cukup untuk membungkammu wahai sahabatku. Sementara aku sudah tak mampu bergerak dan melihat walaupun aku masih mampu mendengar. Ingatkanlah sang isi wahai sahabatku, sebelum kalian dibungkam oleh mereka. Berikanlah sedikit hangat dari sang surya yang masih kau simpan kepada sang isi. Karena sesungguhnya mereka membutuhkan kehangatan.
Tolonglah wahai sahabat, masih lima-enam denting lagi. Waktu yang masih cukup untuk membungkammu. Malam masih larut. Sang isi masih bersekongkol. Sedang aku sudah tidak bisa mendengar sekarang, tetapi aku masih hidup dan berusaha hidup demi sahabatku.
Suatu malam di negeri atas angin, Januari 2002